Menuju Harmonisasi Alam dan Manusia, Analisis Ecophiloshophy Mulyadhi Kartanegara


Menuju Harmonisasi Alam dan Manusia, Analisis Ecophiloshophy  Mulyadhi Kartanegara


Risky Aulya Ramadan

UIN Imam Bonjol Padang

E-mail: riskyaulyaramadan@gmail.com

ABSTRAK

Adapun yang menjadi permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana pemikiran Mulyadhi Kartanegara mengenai peran Manusia Dalam Ecophiloshophy dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini. Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mengetahui pandangan Mulyadhi Kartanegara mengenai Ecophiloshophy, untuk mengetahui kedudukan Manusia bagi Alam dalam Ecophiloshophy Mulyadhi Kartanegara, untuk mengetahui kedudukan Alam bagi Manusia dalam Ecophiloshophy Mulyadhi Kartanegara. Sedangkan Metode Penelitian yang digunakan adalah Metode Holistik. Dimana peneliti berusaha melihat objek dari semua dimensi. Penelitian ini bercorak kepustakaan (library research) dengan objek pembahasannya Manusia dalam Ecophiloshophy Mulyadhi Kartanegara. Sebagai sumber data peneliti merujuk kepada buku-buku karangan Mulyadhi Kartanegara serta buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan Ecophiloshophy. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk istimewa yang telah Allah ciptakan dari makhluk-makhluk lainya. Bukti keistimewaan manusia dapat kita lihat pada diri manusia itu sendiri, dimana didalam diri manusia terdapat semua unsur-unsur alam. Sehingga jika manusia ingin mengenal alam, ia cukup mengenal dirinya sendiri. Namun, keistimewaan yang diterima manusia tidak membuatnya dapat bertindak semena-mena, justru dengan keistimewaan itu manusia dihadapkan dengan tugas untuk menjaga dan melestarikan alam dengan spiritualitas dan filsafat yang didasarkan pada teologi kosmis seperti yang diciptakan dalam filsafat islam. Ternyata setelah penulis telusuri belum ada orang yang membahas Ecophiloshophy Mulyadhi Kartanegara dengan metode Holistik.




PENDAHULUAN

Munculnya berbagai permasalahan lingkungan baik dalam skala lokal, regional maupun global dewasa ini semakin mengkhawatirkan. Perubahan iklim yang disebakan oleh global warming menyebabkan keseimbangan di bumi mulai kacau, yang berdampak pada tidak dapat diprediksinya sesuatu musim. Di belahan bumi yang lain curah hujan begitu tinggi hingga mengakibatkan banjir dan erosi, sementara dibelahan bumi lainya terjadi kemarau yang sangat panjang yang mengakibatkan mewabahnya kekeringan yang berkepanjangan.


Kerusakan sumber daya alam (tanah, air, udara) deforestasi degradasi hutan, dan kebakaran hutanpun semakin marak terjadi. Dampak negatif lingkungan tersebut secara dominan dan signifikan bersumber dan berakar pada perilaku eksploitatif dan konsumtif manusia yang berparadigma antroposentris dengan menempatkan manusia sebagai centre of the universe.


Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya suatu realitas dimana memanfaatkan dan mengeksploitasi alam untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga mengeksploitasi sesama manusia untuk memenuhi hasrat diri manusia, sehingga berbagai kekerasan telah dan krisis akan terus terjadi. Kesadaran manusia akan mendesaknya penanggulangan krisis lingkungan yang tengah terjadi di bumi, mendorong refleksi religiositas dan spiritualitas yang masif untuk merenungkan kembali tentang hubungan manusia dengan lingkungan yang kian menuju ke arah disharmoni. Refleksi ini kemudian melahirkan paradigma baru dalam pemahaman tradisi keagamaan terkait etika kosmologis yang dapat disebut dengan teologi atau kallam lingkungan, dimana agama dengan sistem nilai yang ada didalamnya hadir untuk membimbing manusia mencapai kesadaran ekologis.


Salah seorang filosof Muslim Indonesia kontemporer yang mengkaji tentang filsafat Alam adalah Mulyadi Kartanegara. Mulyadhi mengatakan alam adalah segala sesuatu wujud baik itu fisik maupun metafisik selain Tuhan. Jika demikian maka surga dan neraka merupakan bagian dari alam. Dengan ini Mulyadhi tampaknya memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai alam. Sebagai seorang tokoh pemikir Islam Mulyadhi Kartanegara banyak memberikan kontribusi dalam keilmuan islam.


Meskipun secara langsung Mulyadhi Kartanegara tidak pernah menulis buku mengenai Ecophiloshopy. Namun secara tidak langsung pemikiran Mulyadhi Kartanegara telah mulai mengarah kesana. Maka dari itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai  filsafat Ecophilosophy menurut Mulyadi Kartanegara dalam bentuk karya ilmiah berupa Jurnal.


Supian, dengan Judul “Argumen Teleologis Eksistensi Tuhan: Analisis Eco-Philosophy Dalam Filsafat Islam” (2013). Adapun hasil dari penelitian ini yakni menekankan bahwa manusia tetap menjadi makhluk yang istimewa dari makhluk lainya, tetapi keistimewaan itu malah menjadi beban bagi manusia dan berkewajiban untuk memelihara dan melestarikan alam semesta dengan basis spiiritualitas dan keyakinan teleologis kosmis. 


Eko Nurmardiansyah, dengan judul “Eco-Philoshopy Dan Implikasinya Dalam Politik Hukum Lingkungan Hidup Di Indonesia” (2014). Adapun hasil dari penelitianya yaitu krisis lingkungan berakar pada kesalahan mendasar pemahaman filosofis atau pandangan dunia (weltanschauung) tentang hakikat manusia, alam, dan tempat manusia dalam ekosistem secara keseluruhan. Solusinya tidak bisa didekati hanya secara teknis dan parsial, tetapi lebih komprehensif-holistik dengan secara radikal mengubah cara pandang dan sifat prilaku manusia, yang berarti harus disesuaikan dengan etika lingkungan. 


Iwona Dudzik, dengan judul “Eco-Phioshopy In Education For Sustainable Development”(2017). Adapun hasil penelitianya yakni salah satu masalah terpenting saat ini adalah keselamatan keberadaan manusia dan eksistensii budaya, peradaban, dan lingkungan. Gagasan tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk menjamin keberadaan spesies yang aman adalah alasan untuk diskusi di dalam kalangan luas dari mereka yang berurusan dengan sains dan juga filsafat, dan khususnya eko-filsafat. Eko-filsafat yang benar-benar berfokus pada memperkuat cara berpikir serta aturan yang mengatur tindakan yang dilakukan dan dipikirkan dengan matang terkait dengan perlindungan lingkungan. 


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana peran manusia dalam Ecophiloshophy Mulyadhi Kartanegara. Adapun manfaat penelitian ini Sebagai sumber pengetahuan dan sumber informasi, serta sebagai sarana penambah khazanah intelektual dan wawasan dibidang terkait dengan fenomena Ekoteologi. Sehingga kita dapat memahami pemikiran tokoh tanpa memandang sebelah mata dan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau sumbangan sebagai bahan acuan maupun perbandingan bagi para peneliti selanjutnya.


Metode Penelitian

Didalam Metode penelitian akan dijelaskan jenis penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Adapun jenis penelitiannya adalah kepustakaan (library reseach). Yaitu penelitian yang objek utamanya adalah buku-buku karya Mulyadhi dan literature lainya. Kemudian data yang diperoleh ditelaah dan diteliti untuk selanjutnya diklarifikasi sesuai dengan keperluan pembahasan ini dan disusun secara sistematis, sehingga menjadi suatu kerangka yang utuh dan kemudian dianalisa. 


Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan melakukan pengkajian terhadap literatur yang ada di pustaka baik itu karya-karya yang ditulis sendiri Mulyadhi Kartanegara. Teknik analisis data yang digunakan ada empat, Metode Induktif, Metode Analisis Kritis, Metode Holistika, dan Metode Heuristika.


Biografi Intelektual Mulyadhi Kartanegara

Mulyadhi Kartanegara lahir dari kedua orang tua, yakni Hj. Ety Suhaety sedangkan ayahnya bernama R.H. Supriyadi. Mulyadhi lahir pada tanggal 11 juni 1959 di kampong dukuh kecamatan Lego Kota Tanggerang. Mulyadhi tinggal dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang memiliki latar belakang santri yang menganut paham Ahl Sunnah wa al-jamaah.

Mulyadhi memulai perjalanan intelektualnya secara formal pada Sekolah Dasar Negeri Lengok tahun 1971. Setelah menyelesaikan Studinya di SDN lengok, Mulyadhi menlanjutkan pertualangan intelekualnya pada PGAN (Pendidikan Guru  Agama Negeri). Sebelum sekolah disana Mulyadhi mendapatkan peringatan keras agar berhati-hati selama belajar disana sebab para tenaga pengajar disana merupakan orang-orang yang berpahamkan Muhammadiyah, sebuah paham yang jelas berbeda dengan paham yang di yakininya selama ini. 

Tidak merasa puas dengan itu, atas izin ayahnya Mulyadhi  pindah  ke Sekolah Persiapan (SP) IAIN (Institut Kepercayaan Islam Negeri). Selama dua tahun berada disana Mulyadhi  mengalami perkembangan intelektual yang sangat pesat, mulai dari ketekunannya dalam membaca. 

Tahun 1978 Mulyadhi melanjutkan studinya di Universitas islam Negeri IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Salah satu pelajaran yang sangat menarik minat Mulyadhi pada waktu itu sebelum ia mengenal filsafat ialah Ilmu Kallam. Adapun  bahan rujukanya untuk menyelami lebih dalam Ilmu Kallam adalah “Teologi Islam” karya sang guru yakni Harun Nasution. Berkat bantuan dari buku ini Mulyadhi mulai mengenal berbagai aliran-aliran teologi lainya seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Qadariyah, Jabariyah dan lain-lain.

Pada tahun 1986 Mulyadhi memperoleh beasiswa untuk program Magister di University Of Chicago, USA. Pada tahun 1989 Mulyadi pun berhasil memperoleh gelar Magister dengan judul tesis “The Mystical Of Reflection Of Rumi” Lalu  di tahun 1996 Mulyadhi berhasil meraih gelar doktor filsafat dengan disertasi yang menggunakan bahasa Arab yang berjudul “Mukhtasar Siwan al-Hikmah” yang berisikan lebih kurang seribu kata-kata mutiara dari 60 filosof Yunani serta tidak ketinggalan dengan memasukan 13 filosof Muslim didalam disertasinya.

Sebagai seorang tokoh pemikir Islam Mulyadhi telah banyak melahirkan karya-karya yang telah diterbitkan dalam bentu buku, diantaranya, “Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, “Menembus Batas Waktu; Panorama Filsafat Islam”, “Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi Islam”, “Seni Mengukir Kata: Kiat-Kiat Menulis Efektif-Kreatif”, “Gerbang Kearifan; Sebuah Pengantar Filsafat Islam”, “Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia”, Lentera Kehidupan; Panduan Memahami Tuhan, Alam, dan Manusia, Reaktualiisasi Tradisi Ilmiaah Islam, dan “Menyelami Lubuk Tasawuf”.


Makna Ecophiloshophy Menurut Mulyadhi Kartanegara

Mulyadhi membicarakan manusia dalam pengertian yang berdialog dengan unsur makhluk yang ada di alam. Titik dialogis (kesamaan) tersebut dilihat Mulyadhi bukan dari segi kuantitas atau volume, melainkan dari sudut pandang kualitas. Dimana manusia merupakan himpunan dari segala wujud yang ada di alam semesta.

Pada level mineral, mungkin unsur yang terkandung dalam diri manusia masih berwujud unsur kimia seperti, kalsium, nitrogen, sulfur, magnesium, besi, seng, tembaga, dan lain sebagainya.

Pada level tumbuhan maka yang dikandung oleh manusia adalah kecakapanya, seperti kecakapan menyerap makanan kedalam tubuhnya (nutritif),dan kecakapan reproduksi. Unsur-unsur tumbuhan yang terdapat pada diri manusia yang akan menjadi konsen kita adalah daya-daya psikologinya ketimbang dengan unsur-unsur fisiologinya. 

Sedangkan kecakapan hewan yang terdapat dalam diri manusia Menurut Mulyadhi, namun tidak terdapat pada tumbuhan adalah kecakapan mengindra dan bergerak. Kemampuan mengindra ini tentu saja menjadi mungkin setelah Tuhan menciptakan untuk mereka, sebagaimana juga untuk manusia, berbagai alat atau organ indra seperti mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit, dengan organ tersebut  seekor hewan dapat melihat benda, mendengar suara, mencium aroma, mengecap makanan dan merasakan udara di sekitarnya.

 Dalam buku “Lentera Kehidupan”, Mulyadhi menjelaskan sealin indra lahir, para filsuf muslim khususnya Ibn Sina, nemambahkan indra batin kepada hewan yang kemudian di wariskan kepada manusia, seperti indra bersama (hissmu syatarak), retensi (khayal), imajinasi (mutakhayyilah), estimasi (wahm), dan memori (hafizah). 

Lebih jauh lagi pada diri manusia juga terdapat unsur malaikat. Mulyadhi mengatakan bahwa manusia dibedakan dengan makhluk lainya karna adanya potensi akal yang dimilikinya. Menurut para filsuf, akal adalah makhluk spiritual yang sering kali di samakan dengan malaikat.

Apa yang di sampaikan Mulyadhi kiranya telah menunjukkan adanya kesatuan integral antara manusia dan alam semesta, sebagaimana Mulyadhi mengistilahkan manusia dengan alam kecil (microcosmos). Memang begitulah kenyataannya ukuran tubuh manusia yang relatif kecil, mampu menampung unsur-unsur yang terdapat di alam semesta yang begitu besar. Mulai dari unsur mineral, tumbuhan, hewan, bahkan malaikat, karena itu dapatlah kiranya kita pahami mengapa para filsuf terutama Ikhwan Shafa khususnya menyebut manusia sebagai mikrokosmos.

Karna keistimewaan yang terdapat dalam diri manusia yakni terdapat seluruh unsur alam pada dirinya yang relatif kecil, tidak membuat manusia bebas dan bangga akan hal itu. Melainkan dibalik anugerah yang Allah berikan pada dirinya tersimpan tugas besar yakni menjaga dan melestarikan alam. Sebagaimana yang tertulis didalam Q.S. 21: 107 yang artinya; “untuk menjadi rahmad atau sumber kasih sayang bagi seluruh alam”. Ini menandakan adanya suatu kewajiban bagi manusia yaitu menyebarkan kasih sayang (rahmah) ke seluruh penduduk Bumi, termasuk didalamnya hewan, tumbuhan, dan lingkungan disekitar.

Sebelum menjadi rahmat bagi alam semesta, tentu manusia harus melihat juga apa yang telah alam lakukan kepada manusia. Alam telah memberikan sinar mataharinya kepada manusia. Tanpa sinar matahari, tidak akan ada pohon-pohon yang akan tumbuh, tidak aka nada hewan yang bisa hidup, dan pada giliranya tidak aka nada manusia yang dapat hidup di planet Bumi ini. Singkat kata, alam telah begitu dermawan kepada manusia, dan karna itulah manusia berkewajiban untuk berterimakasih kepada alam dan penciptanya. Salah satu cara yang dapat dillakukan manusia untuk berterima kasih kepada alam adalah memberinya respek dan memperlakukanya dengan semua kelembutan dan kebaikan.

Sesungguhnya manusia telah diperlakukan baik oleh alam maupun Tuhan dengan cara yang sangat istimewa. Dan Tuhan sendiri yang telah mengatakan bahwa Dia telah menciptakan semua yang ada di jagad raya ini untuk manusia. Dia juga telah menundukkan matahari dan bulan juga untuk kepentingan manusia. Singkat kata, kita memperoeh karunia alam yang berlimpah dan nikmat yang tak terhitung banyaknya yang telah Tuhan berikan kepada kita, sehingga “apabila kita ingin menghitungnya niscaya tidak akan mampu melakukanya.

Menurut Mulyadhi, manusia tidak boleh hanya menekankan peranya sebagai makhluk social (social animal) saja, tetapi justru harus menonjolkan peranya sebagai makhluk ekologis (ecological animal). Artinya, manusia berkembang menjadi manusia tidak hanya dalam relasi dengan sesame manusia, tetapi justru dalam relasi dengan semua kenyataan kehidupan dalam alam semesta. Manusia dipandang sebagai  bagian perpanjangan dari ekosistem seluruhnya, dan merealisir dirinya melalui sebuah proses dimana ia menyadari bahwa ia hanya bisa menjadi manusia dalam kesatuan asasi dan interaksi positif dengan alam.

Mulyadhi kartanegara menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan, menikmati kemuliaan dan keagungan khusus di antara makhluk-makhluk lain dan memiliki peran khusus sebagai pengelola alam semesta. Alam semesta dan lingkungan merupakan amanah yang dipercayakan oleh Tuhan kepada manusia, alam semesta merupakan sekolah bagi manusia, dan Tuhan akan mengganjar dengan pahala pada setiap diri manusia sesuai dengan niat baik, etika dan usahanya untuk alam semesta. Dengan amanah tersebut manusia bertanggung jawab terhadap jalanya semua rencana Tuhan, semua aspek keberlangsungan, dan keteraturan alam semesta ini seperti evolusi dan pertumbuhan, keteraturan, dan ketersusunan, serta keindahan dan keterpeliharaanya.

Manusia harus menjaga keseimbangan dan melestarikan alam. Sebab alam adalah anugerah yang Tuhan berikan kepada manusia yang harus dijaga atau dapat kita pahami sebagai alam adalah manifestasi Tuhan yang maha sempurna. Merusak alam sama saja tidak menghargai atau menganiaya Tuhan. Sehingga  manusia tidak akan pernah sampai pada Mi’raj tertinggi.


Jalan Menuju Manusia Ecophiloshophy Menurut Mulyadhi Kartanegara

Dalam upaya mendukung paradigma spiritualitas lingkungan ini, Mulyadhi menyaranan, umat islam harus melihat alam dan lingkungan hidup secara keseluruhan sebagai nikmat dan anugrah Allah yang wajib disyukuri dengan menjaga kelestarian dan tidak merusak alam dengan semena-mena, termasuk eksplorasi yang tidak memerhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan. Umat islam juga harus melihat alam semesta ini sebagai amanah yang diberikan oleh Allah untuk dijaga, dimuliakan, dan dicintai. Harus ada juga sebuha reinterpretasi dari bahas “menaklukkan” menjadi “melestarikan” sebagai mana umumnya sering secara keliru dipahami dalam khazanah pemikiran Islam tentang Lingkungan.

Peran agama dan filsafat Islam dalam ikut menjalankan fungsi spiritualnya untuk menjaga lingkungan didasari dengan dalil bahwa alam semesta dengan segala keragamanya adalah ciptaan dan bukti adanya Tuhan. Dalil berikutnya adalah bahwa alam semesta ini diamanahkan Tuhan kepada manusia. Hal tersebut merupakan sebah langkah yang harus dioptimalkan, karena jika tidak dioptimalkan maka agama dan filsafat hanya akan berada dalam wilayah “gelap”. Padahal agama dan filsafatlah yang diharapkan dapat menjaga dan mempersiapkan lingkungan untuk masa depan, yang bukanya semakin berkurang dan semakin rusak, melainkan harus bertambah dan semakin lestari dengan menerapkan nilai-nilai spiritualnya dalam menciptakan etika lingkunga yang komprehensif dan universal.

Dengan menyakini dan kemudian mempraktikkan nilai-nilai bahwa alam semesta adalah sebuah amanah Tuhan yang dibebankan kepada manusia dimuka bumi ini, maka akan lahir sikap-sikap manusia yang peduli terhadap aspek lingkunganya. Kesadaran yang tinggi pada diri manusia dapat dihadirkan dengan melihat krisis lingkungan yang terjadi dibumi saat ini. Karena krisis tersebut banyak disebabkan oleh prilaku destruktif manusia itu sendiri, karena manusia tidak menghormati hak asasi alam semesta dan manusia tidak menjalankan amanah yang diberikan oleh Tuhan dengan baik.


Analisis Kritis Penulis

Krisis lingkungan hidup global, yang dirasakan dan terjadi dewasa ini, sebenarnya bersumber dari kesalahan fundamental filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya dan alam semesta, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kekeliruan cara pandang ini kemudian melahirkan prilaku yang keliru juga terhadap alam. Manusia keliru dalam memandang alam semesta dan keliru juga dalam menempatkan diri dalam alam semesta seluruhnya. Karena itu pembenahanya harus pula menyangkut pembenahan cara pandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi, baik dengan sesama manusia, dengan alam semesta, maupun terutama interaksi antara manusia dengan Tuhan, yang dalam world view  filosofis selama ini sering dihilangkan.

Paradigma sains dan teknologi modern yang mekanistis materialistis telah menjauhkan manusia dari alam dengan sikap eksploitatif dan tidak peduli terhadap alam, sekaligus juga telah menjauhkan manusia dari Tuhan, dengan sikap tidak patuh terhadap perintah Tuhan dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan kerusakan alam. Padigma seperti ini harus segera dibuang dan diganti dengan paradigma dan cara pandang yang menempatkan manusia sebagai bagian integral dari alam dan makhluk Tuhan yang lain, serta perilaku yang penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta. Ecophiloshophy yang menganut paradigm spiritual ecology harus menjadi paradigm dan cara pandang seluruh masyarakat dunia dalam berbagai usaha pelestarian alam.

Ecophiloshophy berarti kearifan bagi manusia untuk hidup di dalam keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dengan seluruh alam semesta sebagai sebuah sunnah yang telah didesain oleh Allah. Paradigma ini sekaligus merupakan upaya mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan kecenderungan ekologis manusia. Ecophiloshophy harus menjadi cara pandang menyeluruh mengenai alam semesta dan lingkungan hidup dengan basis keyakinan spiritual dan filosofis. Berdasarkan pola pandang tersebut akan melahirkan pola hidup manusia yang arif dalam memelihara alam semesta sebagai sebuah rumah tangga, yang bersumber dari pemahaman, kearifan dan keyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini mempunyai nilai pada dirinya yang patut dihargai sebagai makhluk Allah yang tidak diciptakan oleh-Nya dengan sia-sia.


Kesimpulan

Manusia harus menjaga keseimbangan dan melestarikan alam serta melihat alam dan lingkungan hidup secara keseluruhan sebagai nikmat dan anugrah Allah yang wajib disyukuri dengan menjaga kelestarian dan tidak merusak alam dengan semena-mena, termasuk eksplorasi yang tidak memerhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan. kemudian mempraktikkan nilai-nilai bahwa alam semesta adalah sebuah amanah Tuhan yang dibebankan kepada manusia dimuka bumi ini, maka akan lahir sikap-sikap manusia yang peduli terhadap aspek lingkunganya. Kesadaran yang tinggi pada diri manusia dapat dihadirkan dengan melihat krisis lingkungan yang terjadi dibumi saat ini.
















DAFTAR PUSTAKA

Mulyadhi Kartanegara. 2000. Mozaik khasanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago. Cet. I; Jakarta: Paramadina.

Mulyadhi Kartanegara. 2002.  “Menembus Batas Waktu; Panorama Filsafat Islam”. Mizan Bandung. 

Mulyadhi Kartanegara. 2007. “Mengislamkan Nalar; Sebuah Respond Terhadap Modernitas”.Erlangga, Jakarta.

Mulyadhi Kartanegara. 2017.  Lentera Kehidupan; Panduan Memahami Tuhan, Alam, dan Manusia. PT Mizan Pustaka. Bandung.

Abdul Quddus, Ecotheology Islam: Teologi Konstruktif Atasi Krisis Lingkungan, Jurnal Studi Keislaman, Volume 16 Nomor 2 (Desember), 2012, Hlm 312

Andi Muhammad Iqbal Salam, “Integrasi Ilmu; Pemikiran Kritis Mulyadhi Kartanegara Terhadap Bangunan Ilmu Modern”, UIN Alauddin Makassar, 2014, h 27

Supian, “Ecophiloshophy Sebagai Cetak Biru Filsafat Ramah Lingkungan”, Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Vol. 4, No. 2, Desember 2014, Hlm 513


Post a Comment