BENCANA HIDROMETEOROLOGI: Lima Anggota Keluarga Meninggal, Rumah Hancur, Mahasiswi UIN Padang Butuh Uluran Tangan Dermawan

Oleh: Ravelion Alfages


Musibah bencana hidrometeorologi yang menelan korban jiwa satu keluarga dan menghancurkan rumah mereka kembali mengingatkan kita bahwa persoalan bencana bukan hanya urusan cuaca ekstrem, tetapi juga soal bagaimana negara, masyarakat, dan sistem sosial kita merespons penderitaan manusia. Ketika lima anggota keluarga meregang nyawa dan seorang mahasiswi UIN Padang harus menanggung duka sekaligus kehilangan tempat tinggal, kita melihat bahwa bencana tidak hanya merusak fisik, tetapi juga memporak-porandakan struktur sosial paling dasar: keluarga.


Dari perspektif fungsi hukum dan negara, bencana seharusnya menjadi titik di mana negara hadir paling kuat untuk melindungi warganya. Hukum, kebijakan penanggulangan bencana, dan sistem mitigasi idealnya menjaga keselamatan masyarakat, meminimalkan risiko, serta menjamin bahwa setiap orang memiliki perlindungan yang setara. Namun, tragedi ini justru memperlihatkan kelemahan serius dalam sistem peringatan dini, penataan ruang, hingga jaminan keamanan bagi kelompok rentan. Ketika korban berjatuhan, kita dipaksa mempertanyakan sejauh mana kerangka hukum dan kebijakan kita benar-benar bekerja untuk menyelamatkan nyawa.


Dalam konteks sosial, bencana ini membuka fakta pahit bahwa masih banyak keluarga tinggal di kawasan berisiko tinggi tanpa akses mitigasi yang memadai. Kerapuhan infrastruktur, lemahnya edukasi kebencanaan, hingga minimnya perlindungan sosial memperlihatkan bahwa sistem kita tidak cukup adaptif terhadap ancaman hidrometeorologi yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim. Mahasiswi UIN Padang yang kini kehilangan keluarga dan rumah bukan hanya korban alam, tetapi juga korban kegagalan sistemik yang seharusnya melindunginya.


Tragedi ini juga menguji solidaritas sosial masyarakat kita. Dalam teori sosial, fungsi hukum dan negara tidak akan berjalan efektif tanpa adanya dukungan dan empati publik. Pada titik inilah gotong royong menjadi alat pemersatu yang paling nyata. Mahasiswi yang kini sendirian menghadapi masa depan membutuhkan lebih dari sekadar belasungkawa—ia membutuhkan uluran tangan, perhatian, dan kepedulian nyata dari sesama. Ketika rumah telah rata dengan tanah dan keluarga telah tiada, masyarakatlah yang harus menjadi sandaran pertama.


Dari perspektif moral, bencana ini memberi pesan bahwa keadilan tidak hanya diukur dari bagaimana negara membuat regulasi, tetapi bagaimana suara korban didengar dan kebutuhan mereka direspons secara manusiawi. Mereka yang selamat harus diberi pendampingan, bantuan psikososial, dan jaminan bahwa hidup mereka dapat kembali berdiri. Tanpa itu, hukum dan kebijakan hanya menjadi dokumen administratif yang hampa nilai.


Pada akhirnya, tragedi hidrometeorologi ini bukan sekadar kisah tentang kematian dan kehancuran; ini adalah cermin bagi kita semua. Ia menunjukkan bahwa tanpa empati, tanpa kebijakan yang adaptif, dan tanpa perhatian serius terhadap kelompok rentan, bencana akan terus menghadirkan luka yang sama dari tahun ke tahun. Mahasiswi UIN Padang yang kini kehilangan segalanya adalah panggilan bagi kita untuk bertindak—bahwa di balik reruntuhan ada manusia yang harus dibantu bangkit. Dan di titik inilah, kedermawanan menjadi bentuk keadilan yang paling nyata.

Post a Comment