Ekoteologi untuk Generasi Z: Membangun Masa Depan Berkelanjutan dengan Iman dan Ilmu Pengetahuan.


Oleh Surya Ramadani

 

Di pundakmu terukir masa depan,

Generasi Z, harapan zaman.

Iman membara, ilmu membimbing,

Langkahmu pasti, bumi kan pulih.

 

Bukan warisan nestapa dan duka,

Namun bumi hijau, sungai nan jernih.

Teknologi di tangan, hati di iman,

Masa depan cerah, dalam genggaman.

 

Kearifan luhur jadi pedoman,

Inovasi hadir, tanpa ragu dan bimbang.

Setiap tindakan adalah ibadah,

Menjaga bumi, amanah sang pencipta.

 

Dari Sabang hingga Merauke,

Satu tekad, bumi Lestari.

Generasi Z, pelopor sejati,

Membangun dunia, penuh harmoni.

 

Generasi Z saat ini merupakan generasi yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah dan kebijakan masa depan. Mereka juga memegang peran yang sangat penting dalam upaya untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) yang ditetapkan oleh PBB.  SGDs adalah tujuan Pembangunan berkelanjutan yang meliputi 17 tujuan utama, yang bertujuan untuk mengatasi masalah global seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan perubahan iklim. Untuk membantu mencapai SGDs, Generasi Z dapat berperan dalam mempromosikan dan memfasilitasi pengembangan ekonomi hujau. Ekonomi hijau adalah sistem ekonomi yang berfokus pada Pembangunan berkelanjutan dan memperhatikan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi. Ekonomi hijau dapat membantu mengatasi masalah lingkungan dan sosial sambil memperluas Pembangunan ekonomi. Dengan mempromosikan dan memfasilitasi pengembangan ekonomi hijau, generasi Z dapat membangun Indonesia Emas 2045.

 

Generasi Z, yang lahir dan tumbuh di era digital dengan akses informasi yang luas, harus menghadapi tantangan lingkungan yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti krisis iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Itu semua adalah bagian dari isu-isu mendesak yang menuntut solusi inovatif dan berkelanjutan. Mereka butuh cara untuk mengatasi masalah ini. Maka, ditengah kompleksitas ini, Ekoteologi menawarkan kerangka kerja yang unik untuk mengintegrasikan iman dan ilmu pengetahuan dalam upaya pelestarian linkungan.

 

Ekoteologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Oikos yang berarti rumah tangga atau lingkungan yang kemudian diadopsi dalam bahasa Inggris sebagai ecology, dan kata theologia yang berarti ilmu tentang tuhan atau studi tentang Allah dan hubungan manusia dengannya. Sayyed Husein Naser mengartikan ekoteologi sebagai mengingat bahwa alam representasi dari kehadiran tuhan didunia, dan manusia sebagai sarana perwujudan kehendak Allah di bumi adalah satu kesatuan kosmik yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

 

Ekoteologi itu seperti jembatan antara agama dan lingkungan. Agama bisa jadi penyemangat kuat untuk menjaga alam. Contohnya, dalam islam ada konsep rahmatan lil ‘alamin, yang artinya kasih sayang untuk seluruh alam semesta. Ini mendorong umat islam untuk menjaga alam dan seisinya.

 

Selain iman, ilmu pengetahuan juga penting dalam membantu kita untuk mengetahui bagaimana tindakan manusia bisa merusak lingkungan. Dengan ilmu pengetahuan, Generasi Z bisa bikin solusi yang tepat buat mengurangi dampak buruk kelingkungan.

 

Generasi Z punya kemampuan untuk menggabungkan iman dan ilmu pengetahuan. Mereka tumbuh dengan teknologi dan media sosial yang memudahkan mereka mencari informasi dan terhubung dengan orang lain. Mereka juga peduli terhadap isu sosial dan lingkungan. Banyak anak muda Generasi Z yang sudah melakukan aksi nyata. Contohnya, Gerakan “Jumat untuk masa depan” yang diprakarsai oleh Greta Thunberg.

 

Generasi Z dapat memainkan peran aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak-anak, seperti pendidikan dan kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki. Mereka juga memiliki kemampuan dan akses teknologi yang luas sehingga dapat memanfaatkan teknologi untuk memperluas pengetahuan tentang Tuhan dan untuk mengetahui bahwa semua ciptaan nya harus di jaga dan bukan untuk dirusak. Mereka juga dapat menjadi pelopor dalam memanfaatkan teknologi hijau untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan mempromosikan gaya hidup berkelanjutan.

 

Ekoteologi bagi Generasi Z bersumber dari keyakinan bahwa merawat bumi bukan sekedar pilihan moral, tetapi mandat Ilahi sebagaimana ditegaskan dalam kejadian 2:15 (al-kitab), Ketika tuhan menempatkan manusia di taman eden untuk “mengusahakan dan memelihara” ciptaan. Ayat ini menjadi feature utama pemahaman ekoteologis, bahwa manusia diundang bukan untuk mengeksploitasi, melainkan mengelola bumi dengan cinta dan tanggung jawab. Bagi Generasi Z yang tumbuh dalam dunia yang diwarnai krisis iklim, polusi, dan kepunahan spesies, mandat ini menghadirkan spiritualitas yang relavan, bahwa praktik keberlanjutan modern tidak terpisah dari ketaatan iman, melainkan justru wujudnya yang paling nyata.

 

Pemahaman ini semakin diperdalam oleh Mazmur 24:1, yang menegaskan bahwa “ Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya.” Dalam perspektif feature spiritualitas ekologic, ayat ini menjadikan keberlanjutan sebagai bentuk penghormatan kepada sang pemilik segala sesuatu. Generasi Z, yang terbiasa mengaitkan tindakan dengan nilai, melihat bahwa merawat lingkungan berarti menjaga sesuatu yang kudus. Iman dan ilmu pengetahuan tidak lagi dipandang berseberangan, melainkan saling melengkapi. Sains membantu memahami mekanisme bumi, sementara iman memberikan nilai moral dan kesadaran sacral dalam menjaganya.

 

Roma 8:22 juga menjelaskan bahwa segala makhluk sama-sama mengeluh, menghadirkan feature empati ekologis, Dimana alam dipahami sebagai ciptaan yang turut mengalami penderitaan akibat ketidakadilan manusia. Ini berbicara kuat kepada Generasi Z yang sensitif terhadap isu keadilan dan krisis global. Ayat ini membentuk kesadaran bahwa kerusakan ekologis bukan hanya masalah teknis tetapi masalah spiritual, suara rintih ciptaan yang menunggu pemulihan. Dengan demikian, partisipasi Generasi Z dalam gerakan lingkungan bukan hanya sebagai aktivisme sosial, tetapi sebagai bagian dari misi pemulihan  dunia dalam terang Injil.

 

Sementara itu, QS.Ar-Rum 30:41, menceritakan bagaimana kerusakan ekologis muncul sebagai akibat ulah manusia. Ayat ini terasa sangat kontemporer Ketika dilihat dalam konteks krisis iklim modern. Polusi industri, sampah plastik, deforestasi, hingga kerusakan laut semuanya adalah bentuk nyata dari fasad. Ayat ini tidak berhenti pada kritik, ia membawa pesan harapan bahwa kerusakan adalah pengingat agar manusia kembali kejalan yang benar. Bagi Generasi Z, ini berarti menggabungkan kesadaran spiritual dengan aksi nyata, mengurangi jejak karbon, mendukung ekonomi sirkular, mengembangkan inovasi hijau, sekaligus menata ulang gaya hidup menuju keberlanjutan.

 

Ekoteologi bagi Generasi Z bukanlah konsep abstrak. Ia hidup dalam keputusan sehari-hari, memilih produk ramah lingkungan, memanfaatkan teknologi advokasi lingkungan, hingga membangun komunitas digital untuk kampanye hijau. Namun, yang membuat gerakan ini lebih kuat adalah fondasi spiritualnya. Ketika sains memberi data dan solusi, iman memberi makna dan arah. Perpaduan itu membuat aksi ekologis bukan hanya tuntutan zaman, tetapi juga bentuk ibadah. Dengan memandang bumi sebagai amanah ilahi, Generasi Z dapat menjadi generasi yang tidak hanya mewarisi krisis, tetapi juga membangun masa depan yang lebih bersih, lebih adil, dan lebih penuh kasih terhadap ciptaan tuhan.

 

Generasi Z menunjukkan karakter sebagai agen perubahan ekologis berbasis iman mereka menggunakan ruang digital untuk memperluas dakwah lingkungan dan menunjukkan bentuk baru dari echitheological activism. Generasi Z juga menunjukkan kecenderungan kritis terhadap isu lingkungan dan mampu mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan dengan praktik ekologis melalui ruang digital, gerakan pemuda, dan pendidikan kontekstual. Narasi ekoteologi yang dikembangkan oleh generasi ini bersifat dinamis, memadukan kearifa lokal, ajaran agama, dan strategi komunikas modern. Dengan demikian, Generasi Z memaknai ekoteologi bukan sekedar keyakinan religious, meliankan wujud nyata dari keimanan yang diwujudkan dalam tindakan ekologis dan sosial.

 

Generasi Z menunjukkan hubungan yang kuat antara iman, tanggung jawab moral, dan tindakan ekologis, menjadikannya generasi yang potensial dalam mengembangkan gerakan ekoteologi berbasis nilai keagamaan.

 

Implikasi praktis dari pembahasan ini adalah perlunya integrasi ekoteologi secara eksplisit dalam kurikulum pendidikan Islam, pelibatan organisasi kemasyarakatan dan gerakan pemuda dalam kegiatan konservasi, serta pemanfaatan media digital untuk penyebaran narasi religious-ekologis yang kontruktif.

 

Sebagai penutup, ekoteologi Generasi Z menawarkan harapan yang kuat. Mereka mengingatkan kita bahwa krisis iklim pada dasarnya adalah krisis moral dan spiritual. Dengan mengartikulasikan visi dimana keadilan ekologis dan keadilan sosial saling terikat erat, generasi ini sedang menulis babak baru dalam Sejarah lingkungan, sebuah warisan spiritual yang mendesak kita semua untuk bertindak demi masa depan Bersama.

Post a Comment