Oleh: Ilham Maulana

Nasib Filsafat & Implikasinya
Nasib Filsafat Islam & Implikasinya di Tengah Kemegahan Zaman


Apa yang terbesit di benak kita ketika mendengar kata-kata filsafat Islam? Atau, apa yang kita bayangkan ketika seseorang bertanya seputar begaimana pandangan kita tentang filsafat Islam? 


Tentu saja, akan muncul beraneka macam jawaban yang keluar dari masing-masing mulut kita. Ada jawaban yang berbau positif, tapi itu biasanya sedikit dan tentu juga akan banyak jawaban yang  sifatnya negatif dan mencaci maki.


Pernah di zaman dahulu, Ibnu ash-Shalah sebagai seorang ulama di masa itu mengatakan bahwa, “Filsafat adalah pangkal kebodohan, kesesatan dan barang siapa yang berfilsafat maka butalah hantinya…” dan seterusnya yang berisi stigma-stigma negatif yang bercuitan darinya.


Memang banyak orang-orang yang membenci barang ini, karena anggapan mereka yang membenci filsafat terlalu sinis akan keberadaan dan pengaruh filsafat Islam yang berdampak buruk terhadap pemahaman umat Islam (katanya).


Sebagian orang memang banyak menyangsikan (ragu) keberadaan filsafat Islam, karena menurut mereka filsafat Islam hanyalah filsafat Yunani yang di Islamkan atau pemikiran orang kafir yang menyesatkan, lalu disyahadatkan oleh filosof Muslim atau apalah bla... bla... bla... bunyi kesangsian lainnya.


Padahal jika memang filsafat Islam hanya meniru filsafat Yunani, perkataan tersebut dapat dipatahkan dengan mentah-mentah. Sebagaimana tutur Prof. Mulyadi Kartenegara, di dalam filsafat Islam ada kajian-kajian tertentu yang belum pernah dikembangkan oleh filosof sebelumnya yakni filsafat kenabian (nubuwwah) yang dikaji oleh filosof Musim semisal al-Farabi sampai Mulla Sadra.


Keliru jika filsafat Islam dikatakan membebek pada filsafat Yunani melalui penerjemahan karya-karya filsafat Yunani semata. Karena filsafat Islam adalah ilmu yang sudah disesuaikan dengan syari’at Islam. Jadi mustahil jika filsafat Islam bertentangan dengan ajaran agama, sebagaimana Ibnu Rusyd menegaskan filsafat adalah teman dan saudara angkat bagi syari’at. 


Anggapan tentang pertentangan filsafat Islam dan agama adalah hal yang tidak benar. Padahal filsafat (akal), dan agama (wahyu) memiliki tujuan yang sama, yaitu sama-sama mengajak untuk mencapai kebenaran. Maka satu kebenaran tidak mungkin berlawanan dengan kebanaran yang lain, ujar Ibnu Rusyd dalam Fasl al-Maql-nya.


Secara historis, menurut Hassan Hanafi, filsafat Islam memang pernah mencapai puncak kejayaannya, dari masa al-Kindi sampai Ibnu Sina. Akan tetapi, itu hanya berlangsung beberapa abad yakni sampai abad ke 5 H.


Apa yang terjadi setelah itu? Filsafat Islam menjadi tak laku di pasar keilmuan salah satunya karena pukulan telak al-Ghazali yang mem-bid’ahkan dan mengkafirkan pemikiran filosof Muslim seperti al-Farabi dan Ibnu Sina lewat Tahafut al-Falasifah-nya. Di samping karena fatwa Ibnu ash-Shalah di atas.


Memang yang dilakukan al-Ghazali tersebut mampu mem-porakporandakan khazanah filsafat Islam di masa itu. Bahkan sampai saat ini, pengaruh fatwa al-Ghazali tersebut masih mempengaruhi pemikiran umat Islam tentang filsafat Islam itu sendiri.


Padahal, jika kita ingin memahaminya lebih mendalam, yang dikritik al-Ghazali adalah pemikiran filosof Muslim seputar metafisikanya bukan inti dari filsafat yaitu berkaitan dengan epistemologi dan logikainya. Karena dalam beberapa kesempatan, al-Ghazali mengakui pentingnya menggunakan logika dalam memahami aspek ajaran-ajaran agama.


Perlu dipertegas kembali bahwa, apa yang dipukul telak oleh al-Ghazalai adalah sistem metafisikanya bukan epistemologi atau logika yang merupakan alat, sistem, dan inti dari filsafat itu sendiri.


Jika memang benar al-Ghazali menyerang sistem bekerja filsafat yakni logika dan epistemologinya (inti filsafat), sebagaimana pendapat alm. Prof Sirajuddin Zar, artinya al-Ghazali terkesan mengkafirkan dirinya sendiri. Karena dalam khazanah filsafat Islam al-Ghazali adalah tokoh besar dalam meramaikan pasar filsafat Islam di waktu itu.


Sampai satu waktu, filsafat Islam kembali bergairah dengan munculnya Ibnu Rusyd. Ia mencoba mengembalikan marwah filsafat Islam di tengah-tengah umat Islam dalam Tahafut at-Tahafut-nya. Namun, upaya itu agaknya tdak sepenuhnya berhasil karena banyak kejadian-kejadian tak mengenakkan yang dialamimnya semasa itu, sampai akhirnya ia meninggal dunia.


Di satu sisi, kenapa upaya Ibnu Rusyd kurang berhasil? ungkap Nurcholish Madjid, karena mereka berangkat dari pemahaman yang berbeda. Buku al-Ghazali yang merupakan kritik terhadap filsafat Ibnu Sina bersifat Neoplatonis, sementara balasan yang dibuat Ibnu Rusyd bersifat Aristotelian.

Nah, barangkali karena kebesaran Sang al-Ghazali sebagai Hujjah al-Islam, menjadi salah satu aspek yang mendorong orang-orang untuk samakin meninggalkan (memusuhi) filsafat Islam sebagai bahan kajian. Dan itu tetap saja terjadi dan berlangsung sampai hari ini.


Kita bisa lihat, bagaimana kampus-kampus yang mempelajari filsafat, pada umumnya filsafat hanya dipelajari dari segi historisitas dan metafisikanya tok, tetapi agak enggan mengkaji epistemologi dan metode penalarannya.


Filsafat Islam dan Implikasinya

Menyedihkan memang, entah mengapa bangsa dengan penduduk muslimnya paling besar ini tidak memiliki semangat filsafat sejak dari dahulu, bahkan filsafat Islam lebih tepat dikatakan sebagai anak tiri dalam khazanah intelektual kita sampai hari ini. Barangkali jika ada, itupun hanya segelintir orang sahaja yang menyukai kajiannya. 


Miris, hanya karena kita enggan mengkaji ulang dan ogah-ogahan mengenali filsafat, tiba-tiba kita sudah berani melabeli filsafat sebagai barang haram begitu saja, padahal kita belum bersentuhan langsung dan hanya mendengar dari mulut ke mulut dan dari telinga ke telinga saja.


Banyak sekali orang-orang bertanya, apa pula untungnya belajar filsafat Islam? Atau, apa manfaat belajar filsafat Islam secara praktis?


Saya pribadi sangat yakin, jika memang tradisi filsafat Islam hidup di masyarakat kita, maka akan muncul individu-individu yang kritis dalam menanggapi persoalan keberagamaan, karena akhir-akhir ini khususnya kita di Indonesia, isu-isu hangat seperti liberalisme, radikalisme, terorisme dan isme-isme lainnya memang sudah semakin menjadi-jadi.


Dari isu-isu yang memanas tersebut, inilah pentingnya belajar filsafat Islam di mana kita tidak akan mudah men-stempeli seseorang sebagai pribadi yang radikal-radikul, liberal-liberul, dan ini itu lah, dianggapnya sontoloyo sekali orang yang berbeda paham dengan mereka.


Di samping itu, filsafat Islam juga mampu memberikan suply vitamin-vitamin terhadap diri kita, agar mampu membentengi diri dari krisis spiritual yang sudah semakin marak terjadi khususnya di lingkungan kita, artinya mempelajari filsafat Islam juga mampu menjadi salah satu aspek untuk mempertebal keimanan kita terhadap ajaran-ajaran fundamenta Islam.


Dr. Haidar Bagir juga mengatakan, filsafat sangat mampu mengambil peranan yaitu membuka wawasan umat supaya bersikap lebih sophisticated, adil, dan apresiatif sehingga menciptakan nilai-nilai keterbukaan, inklusivitas, toleransi dan pluralitas terhadap kepercayaan orang lain.


Disamping itu, dikarenakan semakin majunya zaman, paham-paham menyeleweng seperti atheisme memang sulit untuk dielakan dalam kehidupan. Seperti saintis ilmuwan terkenal Stephen Hawking yang secara terang-terangan menolak keberadaan Tuhan. Tentu akan sulit menyanggah pendapatnya dengan ayat al-Qur’an karena ia sendiri tak mengimani al-Qur’an. Maka, di sini filsafat Islam adalah opsi penting untuk menuntaskan perihal tersebut.


Lantas, apa yang dipelajari dalam filsafat Islam? Untuk menjawab pertanyaan ini, agaknya membutuhkan jawaban yang panjang. Namun ringkas saja, beberapa hal yang dipajari dalam filsafat Islam pada intinya adalah seputar ketuhanan, alam (cosmos), logika (metode berpikir). Dan lain sebagainya.


Mempelajari filsafat Islam tidak akan membawa seseorang kepada kekufuran. Justru, dengan mempelajari filsafat Islam berarti kita semakin ingin mengenali Allah dan ayat-ayatnya (ciptaan), sehingga hal ini akan mempengaruhi pola pikir kita dalam berperilaku ke arah yang lebih baik.


Sejalan dengan ungkapan Hassan Hanafi, filsafat Islam itu mempelajari logika, Tuhan dan alam yang senantiasa berpengaruh dalam perilaku berkehidupan sehari-hari. Nah, jika masih ada juga orang yang mengatakan belajar filsafat Islam hanya membuang-buang waktu saja, agaknya perkataan ini patut dikaji kembali.


Jelasnya, filsafat akan mengajarkan kepada kita untuk berpikir kritis, universal, mendasar, dan rasional, serta akan mempengaruhi pandangan dunia (word view/ weltanscauung) kita ke arah yang lebih baik, sehingga kita tidak mudah terpancing dengan isu-isu yang bersifat membodohi.


Namun, yang amat disayangkan adalah kebanyakan dari kita hanya bertaqlid (ikut-ikutan) semata, tanpa ingin mencari tahu lebih dalam apakah benar filsafat Islam itu begini, apakah benar filsafat Islam itu begitu.


jika sampai hari ini masih ada yang mengatakan filsafat bertentangan dengan syariat Islam, kiranya perlu kita menyimak dan merenungi lebih jauh  hadits Nabi Muhammad Saw dalam sabdanya “Tidak ada agama bagi orang yang tak berakal".

Akhirnya, itulah sedikit kegelisahan yang dapat penulis goreskan sependek dan sepanjang pengetahuan tentang khazanah filsafat Islam. Wallahua’lam


Padang.


Post a Comment